The story is about, asking whether he's fail or not in the path of his life.
Judulnya : Apakah Aku Gagal ?
Aku Pernah bersekolah di TK, tapi tidak sampai satu tahun. Aku sering tidak masuk sekolah, Hanya karena makanan kesukaan ku (baca: LUPIS) yang dijual nenek sudah duluan abis. Kadang dia lupa menyisakan untuk ku. Aku masuk TK karena aku tidak diterima di SD dengan alasan belum cukup umur. Saat itu umurku masih 5 tahun 6 bulan (karena aku lahir bulan desember). Sedangkan persyaratan masuk SD harus sudah mencapai 6 tahun. Kalau aku masuk ditahun berikutnya berati aku sudah rugi umur selama 6 bulan kan ? tapi aku tidak memikirkan saat itu. Kakak aku yang juga seorang guru, tahu mana yang terbaik untuk ku. Akhirnya dia mengantarkanku ke sekolah TK untuk sementara. (contradiction from me, ketika saya masuk tk saya malah belum cukup umur. waktu dulu belum ada yg namanya playgroup2an, so karna ibu saya kesian ngeliat saya, sementara temen2 saya disekitar rumah sudah pada sekolah, akhirnya saya dimasukin ke TK, I Was 4 years old at that time. masuk ke tk nol kecil)
Setelah masuk SD, dari segi postur tubuh aku masih sangat kecil dan kurus. Tapi tetap ada gantengnya lho, meskipun dikit. Disekolah aku sering terkalahkan oleh teman-teman, baik dari segi fisik kemampuan maupun dalam bermain. Aku tidak pernah diberi kesempatan oleh sekolah untuk berkembang dalam bidang kesenian, olah raga dan keterampilan. Padahal aku kepingin, dan mereka tidak mengerti. Yang mereka tahu aku tidak cocok dan tidak berbakat untuk itu. Potur tubuhku yang kurus, kecil dan lembek. Ya sudah pikirku. (kebalikan lagi dari saya, setelah selesai tk nol kecil, ibu saya iseng2 mendaftarkan ku di SD inpres, hehe malu nih nyebutinnya. krn menurutnya kalau bisa masuk SD buat apa buang2 waktu, sekalian aja di SD, ternyata lolos, tapi ibu saya pesen ke walikelasnya, kalau saya tidak bisa untuk mengikuti pelajaran sewaktu dikelas 1, buatkan saja saya tinggal kelas meskipun saya mampu untuk naik kelas, biar saya lebih mantap dlm pemahaman dulu. begitu pesennya, ternyata guru saya berkata lain, dia bilang saya mampu dan harus naik kelas, jadi biarkan saja katanya begitu. ga jadideh saya tinggal kelas)
Aku juga mengalami kondisi dipalakin wkt SD. Pelakunya orang yang sering bermain dengan ku dikampung, dan dia adalah abang kelas ku. Tetapi kenapa dia tega mengompas duit jajan ku. Karena tidak terlalu sering makanya aku tidak melaporkan pada siapa-siapa. Aku ingin menanggungnya sendiri tanpa melibatkan orang lain. Masalahpun selesai pikirku. (kalau kondisi dipalakin, sama nasibnya. dulu saya sering dipalakin sama temen, perempuan juga, namanya saya sudah lupa. Tapi ternyata Allah masih sayang sama saya, ada seseorang yg baik hati menggantikan uang yg telah hilang dari saya, dan dia adalah...saya bilang dia ibaratnya ibu peri, krn selain putih, dia cantik dan baik hati sm semua orang, namanya yolanda, dia peranakan indonesia bule belanda, rambutnya pirang, sayang saya hanya sampai kelas 3 sd sekolah di sd inpres tsb, dan sejak saat itu saya tidak tau lagi kabarnya)
Setelah 6 tahun di SD, aku ke SMP. Sekolah itu hanya bersebelahan dan aku tetap hidup di lingkungan yang sama, dengan orang yang sama juga tapi tetap ada penambahan kawan-kawan baru.
Disekolah itu aku dimasukkan dalam kelas inti, entah apa pertimbangan sekolah terhadap ku. Dikelas itu terdapat 40 % kawan aku sewaktu SD 60% lainnya dari sekolah lain. Disitulah perkembangan dimulai, pola pikir sudah mulai berubah, jati diri mulai ditunjukkan. Dalam belajar dan sosialisasipun butuh perjuangan dan pengorbanan. Ujianpun dimulai, seperti biasa ketika SD, Pikirku pendidikan ini sama saja semuanya. Belajar, ujian lalu naik kelas. Aku sangat terkejut ketika melihat rapor pertamaku di SD, rangking 34 dari 42 siswa (tapi tidak ada satupun angka yang merah).
Ketika akhir tahun dan ujian naik kelas II, aku mendapatkan rangking 32 dari 40 siswa. Saat itu aku lihat tulisan diraportku naik kekelas II/5. Aku memang naik kelas tetapi aku dipindahkan dari kelas inti bersama 3 kawan ku. Dan itu membuat aku malu pada diriku sendiri dan pada teman kelas sebelumnya. aku bercerita kepada kawanku ternyata kita menjadi orang yang bodoh sekarang ya. Jauh kali peringkat yang kita dapat ya, seandainya kelas dua kita ada dua puluh lokal, mungkin kita adalah siswa dikelas itu pikirku. Rasa malu yang sangat besar pada saat itu. Bahkan aku tak berani menatap mata orang yang menggantikan posisiku. Sang juara dari kelas I/5 dulu. Aku melihat senyumannya dan tawanya, seakan-akan dia adalah pemenang yang telah merebut kebahagiaanku. Itulah yang selalu terpikirkan dan bermain di pikiranku. (dari kelas 1 s/d tamat, saya selalu berada dikelas inti, saya tau bagaimana perasaannya harus pindah dari kelas inti, krn saya juga selalu cemas ketika naik2an kelas, cemas kalau kalau saya harus keluar dari kelas inti)
Dikelas II/5 inilah. Aku mengenal dua sosok anak (layaknya kita katakan abang-abang) mereka adalah sang juara dalam bidang lainnya. Yaitu menghajar guru laki-laki yang berbuat ulah. Kenakalan yang luar biasa. Dalam satu tahun salah satu dari meraka pernah sampai 3 kali berkelahi dengan guru honor yang kebetulan mengajarkan olah raga, hanya karena saling tatapan mata. Yang satu lagi membuat ulah dengan kesurupan di dalam ruangan seakan-akan ada satu ilmu gaib yang telah menguasainya. Ia meninju meja belajar sampai hancur. Guru yang masuk untuk menangkapnya juga juga menjadi sasaran amukan dia. Yang lucunya dia tidak menyakiti satupun diantara kami. Sedangkan kawan yang satu lagi tertwa melihatnya dan tidak melakukan apa-apa. Biarkan saja dia, nanti juga dia lelah sendiri.
Kedua kawan ku yang terkenal dengan nakal dan ulahnya itu, membuat kami seisi kelas menjadi dari rongrongan ataupun ulah siswa lainnya. Tapi mereka serius dan mau belajar bersama ku. Bahkan aku pernah memberikan jawaban matematika untuk dia dan guru sangat terkejut dengan jawaban yang di tulis dipapan tulis. 100% benar yang ditulis oleh murid yang nakal yan tidak pernah menjawab soal meskipun diminta. Tapi hari itu dia maju sendiri dengan bantuan jawaban dari ku. Sang gurupun membubuhkan tanda-tangan di buku latihan dia. Tanda tangan ini lah penilaian guru. Semakin banyak jumlah tanda tangan dia yang bisa kita kumpulkan maka akan semakin banyak nilai yang kita peroleh.
Sejak saat itu dia mulai menyukai matematika, dan nilai matematikanyapun sudah tidak merah lagi. tapi hanya itu satu-satunya tanda-tangan yang resmi diteken oleh guru, yang lainnya dipalsukan.
Pelajaran matematik menjadi salah satu pelajaran yang paling menarik di kelas kami, dan sangat tertib. Kami sama-sama mencoba untuk menyukai. Dan sangat berbeda dengan pelajaran lainnya yang sama sekali membosankan bagi kami. Pelajaran biologi menjadi pelajaran yang kacau dikelas kami, bahasa inggris menjadi pelajaran humor yang membuat kami tertawa.
Dikelas itulah menurutku kami menemukan dan saling membentuk jati diri masing-masing. Dikelas II/5 itu juga terdapat 3 anak dara manis idola kelas dan sekolah kami. Merakalah yang mempunyai tugas membuat semangat kami untuk selalu bersama berkumpul disekolah. Meskipun siangnya ada diantara kami yang bolos. Sedangkan yang menjadi tugas sebagai ketua kelas adalah sosok lelaki gemulai, kami sengaja memilihnya karena kami bisa memerintah apapun pada dia, dan dia tidak berkuasa untuk menolaknya. Guru kelas kami pun tidak bisa mengintervensi karena masalah ketua kelas adalah hak kami.
Gara-gara dia yang menjadi ketua kelas, kamipun menjadi bersemangat mengikuti upacara bendera hanya untuk mendengar dan melihat dia ketika melaporkan kesiapan peserta upacara. Tapi kami tidak bisa tertawa, bukankah ketika upacara kita harus khidmat.
Itulah yang menarik dan menemukan banyak hal ketika aku merasa sudah gagal. Ternyata masih ada harapan yang lebih menyenangkan. Bahkan aku mendapatkkan rangking pertama di kelas itu. Dan akupun sudah mampu tersenyum dan memili kebanggaan tersendiri.
Aku menuju kelas 3 dan tetap juga di kelas III/5. Kata pihak sekolah untuk kelas 3 ini tidak lagi mengenal kelas inti. Bahkan siswa kelas inti juga kembali akan disebarkan ke kelas yang lain. Kelas III/5 mendapatkan jatah 6 orang kawan lama ketika aku masih kelas satu dan beberapa diataranya adalah teman sewaktu SD. Sekarang kelas kami tidak banyak menariknya, kelas kami menjadi kelas monoton, patuh pada perintah dan mengikuti semuanya dengan tertib. Mungkin karena kelas kami terlalu berdekatan dengan ruang guru, bahkan guru berbicarapun kami bisa mendengarnya. Bagaimana kami mau tertawa.
Aku mendapatkan peringkat ke 5 dan ke 3 dari dua semesteran di kelas III/5 SMP itu. Kalau kita analisa itu menjadi suatu peningkatan prestasi bagiku karena aku sudah bisa bersaing dengan kawan dari kelas inti.
Selama aku di SMP banyak kinginanku yang tidak bisa tersampaikan, Cuma satu organisasi atau perkumpulan ektrakurikuler yang memasukkan namaku sebagai anggota, Cuma OSIS. Itu semua murid disekolah itu menjadi anggotanya dan mendapatkan kartu indentitas. Sedangkan kegiatan ektrakurikuler seperti Pramuka tidak difasilitasi oleh sekolah hanya kami diwajibkan menggunakan pakaian pramuka setiap jumat dan sabtu, entah untuk apa akupun tak tahu. (gara-gara terlalu aktif di kegiatan pramuka, saya sampai mengalami kecelakaan wkt itu, kaki saya patah, dan betapa saya sangat kecewa sekali, setelah kejadian kaki patah, saya tidak bisa lagi mengikuti ekskul ini. karena pramuka notabene harus mengandalkan kekuatan fisik. tapi ternyata, setelah keluar dari ekskul pramuka, saya terpilih menjadi dokter remaja, tidak semua siswa bisa ikut kegiatan ekskul ini, betapa bangga dan senang sekali rasanya. apalagi wkt piket, bajunya beda dari temen yg lain, layaknya baju dokter, seragam sekolah saya dirubah menjadi seragam putih-putih. jujur, saya cantik lho ketika berpakain dinas dokter remaja. Bahkan jadi idola.)
Kegiatan ektrakurikuler lain dimana aku melihat kawan-kawan aku mempunyai kebanggaan tersendiri menyandang gelar anggota,peserta ataupun ketua dalam kegiatan UKS (unit kesehatan sekolah) dan PKS (polisi keamanan sekolah) tapi aku tidak bisa terlibat. Mereka yang menjadi anggota adalah pilihan dewan guru, entah apa yang menjadi pertimbangan mereka. Kegiatan lain dimana aku tidak bisa terlibat adalah kegiatan marchingband. Aku tidak bisa dimasukan dalam barisan itu karena aku sudah berpostur janggkung. Sehingga akan membuat barisan tidak menarik kata pelatih marchingband, padahal dia orang sekampung denganku.
Pendidikan di SMP pun berakhir dalam waktu 3 tahun dan aku bisa melanjutkan SMA. Saat aku mulai berani menunjukkan sikapku pada keluargaku. Saat itu seperti biasanya, kalau sedang liburan aku ke ibukota untuk berliburan disana bersama kakak-kakaku. Aku tidak mau melanjutkan SMA kataku pada kakak ku. Kakakku yang pertama menjawab jaddi mau kemana, mau kesawah. Bukan, aku mau masuk pesantren. Aku mengatakan hal yang sama pada satu-satunya abang kandungku. Dia bilang terserah kamu mau masuk kemana, yang penting kamu harus serius. Mau sekolah atau mau ke pesantren sama-sama saja. Aku dulu juga maunya seperti itu, tapi kakak tidak memperbolehkannya, kata abangku.
Sahabatku yang juga sebagai keponaaku yang seumur denganku memberikan saran, karena menurut pemikiran dia aku tidak mau sekolah dikampung dan aku pingin berada di banda. Jadi dia menyarankan supaya aku mendaftar disekolah tempat dia sekolah aja. Usulan itu aku terima tanpa bertanya kepada lagi kepada kakakku yang biasanya lebih berpengaruh dengan keputusannya.
Aku mendaftar di SMA itu karena aku bisa memenuhi persyaratannya karena membawakan ijazah ketika kau pergi dari kampong. Aku mendaftar disekolah itu juga sebagai alternative daripada aku tidak bisa sekolah karena kehabisan waktu pendaftaran masuk sekolah. Waktu lebih banyak aku habiskan untuk memikirkan antara sekolah atau kepesantren.
Akhirnya aku bertanya sama kakakku sebagai keputusan akhir untuk kepentingan yang terbaik buatku. Dengan vonisnya dia mengatakan kamu sekolah aja dulu sampai tamat SMA, nanti setelah tamat SMA terserah kamu mau kemana. kalau kamu kepesantren sekarang, tapi tiba-tiba kamu bosan dan ingin melanjutkan sekolahkan sayang. Jadi paling tidak kamu sudah mendapatkan ijazah SMA dulu.
Sebaiknya kamu sekolah dikampung aja dulu supaya kamu bisa membantu papa dan mama di rumah. Lagipula kalau sekolah dikampung persaingannya tidak ketat siapa tahu kamu bisa mendapatkan undangan untuk masuk perguruan tinggi.
Atas saran kakakku itulah aku segera kembali ke kampong karena waktu pendaftaran tinggal 1 hari lagi. Dengan demikian aku pasti bersekolah di SMA yang jaraknya 1 KM dari kampungku.
Di SMA aku menduduki kelas I/4, tapi tidak ada istilah kelas inti, sama saja semuanya. Entah apa pertimbangan sekolah itu sehingga aku duduk di kelas I/4. Disekolah itu telah bergabung semua siswa dari SMP yang ada di kecamatanku. Bahkan beberapa diantaranya dari luar
Yang mengambil raport disekolah itu adalah orang tua ku, karena memang itu kebijakan dari sekolah. Aku meminta bapakku untuk mengambil rapot, lagi pula dia bisa reuni kembali di tempat dulunya dia bekerja sebagai pesuruh (pegawai tata usaha). Pasti dia sangat senang dan bangga meskipun dia tidak mengatakannya kepadaku, karena anak nya bisa mendapatkan rangking 1. Anak seorang pesuruh yang bisa bersaing dengan beberapa anak kepala sekolah dan anak guru yang ada si kelas itu.
Di kelas II aku juga ditempatkan dikelas II/4. Sekarang ada penambahan murid baru yang didatangkan dari luar provinsi. Ternyata kedatangan dia menawarkan persaingan denganku. Dan aku hanya mendapatkan rangking I dan II dari dua semesteran. Di kelas itu. Dia menang karena metode belajarku masih sama aja, matematika, fisika dan kimia dan akuntansi. Aku tidak menyukai hafalan, dan aku tidak bisa menghafal, aku mendapatkan 6 untuk pelajaran biologi dan itu satu-satu nya nilai terkecil yang aku dapatkan. Aku 3 kali gagal dalam menghafal 10 struktur lapisan kulit. Hingga aku harus mengulangnya lagi di minggu berikutnya.
Karena kegemaranku pada bidang pelajaran menghidung, guru fisika menawarkan aku untuk mempelajari soal olimpiade fisika. Dia memberikan 8 soal untukku yang harus diselesaikan dalam waktu maksimal 4 jam. Ketika aku mau didaftarkan sebagai peserta olimpiade fisika tahun 2005, ternyata aku tidak bisa memenuhi syarat karena factor usia. Lagi-lagi yang diminta per I Januari, sedangkan aku lahir di bulan Desember.
Factor lahir ternyata cukup berpengaruh untukku, penyeleksian Peserta Pekan Olah Raga Daerah (POPDA) juga membuat persyaratan yang sama. Perjanuari, jadi aku gagal untuk mengikuti seleksi akibat umur ku yang ketuaan selama 7 hari. Apakah bisa aku menyalahkan ?
i don't know whether this is the end of story or not, i think not. if there's another story continued, i will keep updated.
No comments:
Post a Comment